Nah, saya menemukan banyak perbedaan antara naik kereta di tahun 2019 dengan di tahun 2023. Dulu, kalau mau naik kereta bisa pesan tiket langsung di lokasi (stasiun). Sedangkan sekarang harus memesan tiket via aplikasi Access by KAI.
Kemarin, atau malam hari sebelum ke stasiun, saya sampai nanya-nanya ke orang yang udah terbiasa naik kereta. Pemesanan tiketnya gimana, terus nanti pas udah di stasiun harus ngapain aja; apakah perlu surat vaksin? Apakah perlu menyerahkan KTP?
Ternyata, untuk kereta jarak dekat atau lokalan, tidak perlu menggunakan surat vaksin. Tidak perlu juga menyerahkan KTP ke petugas gerbang. Tinggal scan aja QR tiketnya. Beres. Sesederhana itu.
Saya sendiri naik kereta pas Minggu kemarin sebenarnya dalam rangka latihan. Jadi, ibu saya pengen banget naik kereta untuk menjumpai keluarga kami di Bandung.
Katakanlah daripada naik bus atau elf, yang mana supirnya rata-rata suka mengendarai mobil dengan ugal-ugalan, plus ongkosnya mahal, mending naik kereta katanya. Makanya, saya nyobain naik kereta lagi. Latihan pesan tiketnya. Latihan cara scan QR tiketnya. Dan alhamdulilah sekarang mah bisa, lancar, dan selamat.
Pertanyaannya; apa pengalaman menarik saya ketika naik kereta lagi setelah tiga tahun tidak memakai alat transportasi murah ini? Ini dia yang ingin saya ceritakan. Haha.
Jadi, begitu tiba di Stasiun Leles, saya sudah menggenggam ponsel dan membuka aplikasi Access by KAI. Bodoh! Saya malah berdiri di depan loket pemesanan tiket offline.
O, iya, pemesan tiket secara langsung bisa dilakukan oleh orang yang sudah berusia 50 tahun ke atas. Masalahnya, saya kan masih muda. Ngapain berdiri di depan loket tersebut? Heuheu.
Akan tetapi, tidak hanya saya saja yang berdiri di depan loket, ada juga seorang wanita cantik berkacamata bulat (mungkin usianya beda dua tahun dengan saya) yang berdiri juga di depan loket.
Saya bertanya ke wanita itu, “Teh, scan tiket online-nya di sini, ya? Saya baru pertama kali soalnya.”.
Si teteh berkacamata menjawab, “Nggak tahu. Aku juga baru pertama kali…”
Kami berdua pun mengantri di belakang ibu-ibu dengan kebingungan.
Selang beberapa menit kemudian, seorang wanita yang lebih tua dari kami mengarahkan, “Itu A, Teh, untuk scan tiketnya sebelah sana….” tunjuk wanita tersebut. Ia menunjuk ke samping kiri kami.
Kami pun sama-sama tersenyum malu dan mulai mengantri di lokasi yang berbeda. Lokasi yang beneran untuk scan tiket/boarding tiket.
Si teteh berkacamata itu mulai menyecan tiketnya. Dan berhasil. Lalu dia masuk ke area rel kereta. Saya membuntutinya dari belakang setelah berhasil juga menyecan tiket.
Setelah itu, saya menghampiri dia dan bilang, “Ternyata gampang juga, ya…”
Si teteh kemudian mengangguk.
Saya lalu mencari tempat duduk di area rel kereta. Si teteh mengikuti saya. Namun, kami duduk di kursi yang berbeda. Kami berdua main handphone terus. Nah, dari sudut mata kiri saya, si teteh seringkali curi-curi pandang ke wajah saya. Saya pun sesekali melakukan hal yang sama.
Jujur, saya ingin kenalan dengan si teteh. Tapi malu.
15 menit kemudian, kereta yang akan kami tumpangi datang. Kami pun masuk ke gerbong yang berbeda. Dari arah belakang gerbong saya, si teteh sibuk mencari tempat duduk.
Begitu mendekat di depan saya, dia tersenyum. Terus saya bilang, “Penuh, Teh. Berdiri aja ayok!”.
Dia menggelengkan kepala. Maju ke arah depan. Maju terus ke gerbong yang jauh dari tempat saya berdiri. Kemudian, dia menghilang. Entah duduk di mana…
Kereta pun melaju perlahan.
Selesai.
"Selalu payah jadi cowok. Udah saling senyum, ngobrol dikit-dikit, eh ragu buat kenalan. Jadi nyesel deh pas keluar dari kereta. Payah. Super payah."